HSI Nilai Resistensi TNI Masuk Kampus Salah Tafsir, Dunia Maju Justru Perkuat Sinergi Sipil-Militer
News

HSI Nilai Resistensi TNI Masuk Kampus Salah Tafsir, Dunia Maju Justru Perkuat Sinergi Sipil-Militer

Jakarta,- Kabarlagi.id.Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto, menilai resistensi terhadap keterlibatan TNI dalam aktivitas di lingkungan kampus sebagai bentuk dikotomi keliru antara militer dan sipil. Menurutnya, pembatasan ini lahir dari tafsir lama yang tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia saat ini.

“Di luar negeri sana, khususnya di negara-negara Eropa, hubungan sipil-militer justru makin kuat dan harmonis melalui konsep Civil Military Cooperation (CIMIC). Jadi, membangun sinergi, bukan menciptakan sekat-sekat baru,” ujar Rasminto dalam keterangannya, Minggu (27/4).

Rasminto menjelaskan, anggapan bahwa dunia militer dan kampus adalah dua dunia yang bertolak belakang merupakan kesalahan besar. Ia mencontohkan bagaimana negara-negara dengan Indeks World Competitiveness Ranking tinggi, seperti Swiss, Denmark, dan Swedia, mampu membangun nasionalisme dan kedisiplinan masyarakatnya melalui sinergi erat antara sektor pendidikan dan militer.

“Berdasarkan data IMD World Competitiveness Ranking 2024, negara-negara tersebut menempati peringkat teratas bukan hanya karena teknologi dan inovasi, tetapi juga karena faktor kohesi sosial, disiplin, dan kesadaran bela negara. Kita harus belajar dari mereka. Semakin maju sebuah negara, semakin kokoh pula hubungan antara akal sehat akademik dan semangat pengabdian terhadap nusa bangsa”, tegasnya.

Menurutnya, militer dan kampus dapat menjadi kawah candradimuka untuk membentuk generasi muda yang berdisiplin tinggi, nasionalis, dan berwawasan global.

“Kampus tidak cukup hanya membentuk intelektual kritis, tetapi juga butuh membangun karakter pejuang. Dan sebaliknya, militer butuh intelektualitas kampus agar kekuatan mereka tidak hanya berbasis hard power, tapi juga berbasis smart power”, ujarnya.

Sinergi ini, lanjutnya, akan memperkuat daya tahan nasional Indonesia menghadapi tantangan zaman. Terlebih, Ia menilai program seperti Latihan Integrasi Taruna Wreda Nusantara (Latsitardanus) merupakan contoh konkret pembangunan jejaring sipil-militer yang positif.

“Melalui Latsitardanus, para taruna dan mahasiswa berbaur dalam membangun desa, mengajar, serta melakukan karya bakti. Ini bukan hanya tentang kedekatan sosial, tapi membangun rasa saling percaya antara unsur sipil dan militer sejak dini,” paparnya. “Kita sedang menyiapkan bukan sekadar pekerja, tetapi pembangun bangsa yang tahu arti gotong royong nasional,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya membangun jejaring sosial sejak dini untuk membentuk pemimpin masa depan yang visioner dan berkarakter. Menurutnya, tanpa relasi lintas sektor yang kuat, seorang pemimpin akan mudah terombang-ambing oleh dinamika politik global.

“Pemimpin masa depan tidak boleh buta. Ia harus tahu siapa kawan sejati bangsa ini, dan siapa yang datang dengan kepentingan tersembunyi,” tandasnya.

Pakar Geografi Manusia Unisma ini menekankan bahwa di tengah dinamika global yang semakin kompetitif, Indonesia perlu menyiapkan generasi muda yang berjiwa nasionalis, disiplin, dan mampu berkolaborasi lintas sektor.

“Jika kita masih terus berpikir sektoral, kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri. Saatnya membangun kekuatan bersama, bukan menciptakan jurang pemisah,” ujarnya.

Ia mendorong publik untuk tidak melihat keterlibatan TNI di kampus sebagai bentuk militerisasi, tetapi sebagai upaya memperkuat kohesi nasional.

“Sinergi ini tentang menyatukan intelektualitas dan patriotisme. Ini tentang membangun bangsa yang kuat, bukan sekadar pintar,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *