Intoleransi Makin Marak, Presiden Jangan Acuh Tak Acuh!
News

Intoleransi Makin Marak, Presiden Jangan Acuh Tak Acuh!

Jakarta,- Hingga jelang pertengahan tahun 2025, artinya setelah lebih dari enam bulan.Pemerintahan Prabowo Subianto, kasus-kasus intoleransi semakin marak.
Pemerintah harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin hak
konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Di Kota Banjar, Jawa Barat, kembali terjadi pelanggaran KBB terhadap Jemaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI). Tim Penanganan yang diketuai oleh Kepala Kemenag Kota
Banjar bersama sekitar 30 orang mendatangi Masjid Istiqamah milik JAI Kota Banjar
dengan maksud menyegel kembali masjid tersebut dan memberikan batas waktu
sampai Selasa 9 Juni 2024 untuk mengosongkan, dengan dasar Perwali No. 10 Tahun
2011 tentang Pembekuan Aktivitas JAI di Kota Banjar. Kebijakan diskriminatif
tersebut mendasarkan diri pada Pergub Jabar No. 12 Tahun 2011, yang sudah pernah
direkomendasikan oleh Kemenkumham RI untuk dicabut karena melanggar HAM.
SKB 3 Menteri No 3 Tahun 2008 juga menjadi dasar hukum yang dirujuk untuk
melakukan diskriminasi atas Ahmadiyah.
Peristiwa pelanggaran KBB di Kota Banjar bukanlah kasus tunggal. Sekedar
memberikan contoh, beberapa kasus intoleransi juga mendapatkan perhatian luas
publik. Pada awal bulan Juni ini, Rektor IAIN Manado membatalkan agenda bedah
buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah”, setelah mendapat tekanan dari
MUI Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara. Pembatalan ini menunjukkan betapa
lemahnya perlindungan negara hak konstitusional untuk beribadah dan kebebasan
berekspresi.
Sebelumnya, pada Mei 2025, warga Samarinda kembali menolak pendirian Gereja
Toraja Kelurahan Sungai Keledang, yang mereka tolak pada tahun sebelumnya.
Ketegangan sosial kembali mengemuka menyusul munculnya spanduk-spanduk
penolakan terhadap rencana pendirian Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang.
Spanduk-spanduk penolakan terpasang di beberapa titik strategis wilayah Sungai
Keledang, seperti di bawah Flyover Jembatan Mahakam IV, dekat Kantor Kelurahan,
dan di sekitar permukiman warga RT 24.
Sementara itu, proses pendirian Masjid Al-Muhajirin di Tomohon masih terhambat
sejak 2021. Hingga detik ini Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) belum juga
mengeluarkan rekomendasi pendirian masjid tersebut, meskipun Kemenag setempat
telah menyepakatinya.
Data SETARA Institute memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Pada tahun
2024, di awal pemerintahan Prabowo, terjadi 260 peristiwa pelanggaran KBB dengan
402 peristiwa dengan 260 tindakan. Data ini menunjukkan peningkatan signifikan
dibanding tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan grafik berikut.

Kenaikan ini menunjukkan bahwa terjadi kemunduran dalam persoalan KBB. Regulasi
seperti PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006, SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, serta berbagai
peraturan daerah yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah, makin memperburuk
situasi. Tindakan diskriminatif dan pelanggaran KBB ini mengganggu stabilitas sosialpolitik serta mengganggu akselerasi pembangunan dan perwujudan Asta Cita
Presiden Prabowo.
Pertama, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat segera turun tangan
menuntaskan pelanggaran KBB, dalam kasus JAI Banjar, kasus Tomohon, kasus
Samarinda dan beberapa kasus intoleransi dan diskriminasi lainnya. Pemerintah
jangan diam saja melihat sekelompok warga negara menjadi korban dari menguatnya
mayoritarianisme, dimana mayoritas memaksakan kehendaknya untuk membatasi
hak-hak minoritas. Padahal Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, terutama Pasal 29 Ayat (2) menegaskan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Kedua, Presiden tidak boleh acuh tak acuh dan mesti memerintahkan seluruh
Kementerian/Lembaga terkait untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dengan; 1) meninjau ulang dan/atau membatalkan Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 90/80 Tahun 2006, Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Tahun
2008 tentang Peringatan terhadap JAI beserta produk hukum daerah turunannya,
dan 2) membubarkan Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan Masyarakat
(Baporpakem) yang berada dalam yurisdiksi Kejaksaan dalam UU Kejaksaan.
Ketiga, Menteri Dalam Negeri RI hendaknya mendisiplinkan Pemerintah Daerah
terkait untuk tidak melanggar hak konstitusional tiap-tiap warga negara atas
kemerdekaan beragama dan beribadah. Sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah,
agama merupakan yurisdiksi Pemerintah Pusat. Ketika terjadi pelanggaran hak-hak
keagamaan warga negara, Kementerian Dalam Negeri mesti mengambil langkah yang dibutuhkan untuk memberikan jaminan dan perlindungan kepada hak-hak
konstitusional kelompok agama minoritas.
Keempat, Menteri Agama RI juga mesti memobilisasi institusi-insitusi vertikal Kantor
Wilayah Agama di seluruh wilayah NKRI untuk bersikap toleran dan tunduk pada
ketentuan Konstitusi Negara serta mendorong jaminan hak konstitusional kelompok
agama minoritas di satu sisi dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama di sisi
yang lain.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *