Oleh : Masdjo Arifin
Founder Beltara (Bela Negara Nusantara)
Jakarta,- Kabarlagi.id.Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling sakral. Tapi lebih dari sekadar kewajiban agama, haji sejatinya adalah perjalanan spiritual menuju puncak kearifan manusia. Dalam kerangka budaya yang hakiki—yakni budaya sebagai fitrah manusia untuk mencari kebenaran dan kebijaksanaan—pelaksanaan haji tidak cukup hanya dipahami dalam bentuk ritual atau simbolik. Ia adalah panggilan jiwa yang mengarah pada transformasi diri.
Haji: Sebuah Jalan Menuju Kearifan
Hakikat dari budaya adalah kecenderungan manusia terhadap kebijaksanaan. Dalam pandangan ini, pelaksanaan haji menjadi lebih dari sekadar ritual tahunan; ia adalah proses spiritual yang membawa manusia mendekati esensi kemanusiaannya. Mereka yang menjalani haji dengan kesadaran mendalam akan hakikat ibadah ini—yang menembus batas formalitas dan simbol sosial—akan tumbuh menjadi manusia berbudaya dalam makna sejatinya: manusia yang arif, bijaksana, dan berkontribusi nyata pada lingkungannya.
Namun, tidak sedikit yang memandang haji hanya sebagai pelengkap lima rukun Islam, atau bahkan hanya sebagai status sosial. Mereka yang melihat haji sebatas “penyelesaian administrasi keislaman” sesungguhnya belum menyentuh substansi haji itu sendiri. Ibadah haji yang sejati bukan hanya tentang pergi ke Makkah, tetapi juga tentang pulang dengan jiwa yang baru dan kesadaran yang lebih tinggi.
Cerita dan Narasi: Haji dalam Budaya Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, haji telah menjadi bagian penting dari konstruksi budaya Islam. Cerita-cerita tentang perjuangan menuju Tanah Suci, dari menabung bertahun-tahun hingga berbagai pengalaman spiritual di Makkah dan Madinah, menjadi warisan lisan yang hidup di tengah masyarakat. Kisah-kisah ini memupuk semangat dan harapan, serta memperkuat posisi haji sebagai ibadah yang istimewa secara sosial dan emosional.
Tak heran jika gelar “Haji” menjadi bagian identitas kehormatan di masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sering kali diidentifikasi lewat gelar ini, menjadikannya sebagai lambang religiusitas dan kewibawaan moral. Namun di sinilah sering terjadi penyimpangan makna: ketika gelar lebih dimuliakan daripada nilai yang seharusnya terkandung di dalamnya.
Sejarah Kolonial dan Dimensi Politik Gelar Haji
Secara historis, gelar “Haji” juga memiliki dimensi politik yang penting. Pada masa kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda mencemaskan potensi subversif dari para haji. Mereka khawatir bahwa pengalaman spiritual dan kebangkitan kesadaran umat Islam pasca-haji akan mendorong gerakan anti-penjajahan.
Pada tahun 1872, Belanda membuka Konsulat Jenderal di Arab Saudi untuk memantau jemaah haji dari Hindia Belanda. Jemaah bahkan diwajibkan mengenakan atribut khusus agar mudah dikenali dan diawasi. Dalam konteks ini, gelar haji menjadi semacam identitas politik, sekaligus bentuk kontrol budaya oleh penguasa kolonial.
Haji Prestise: Budaya Simbolik Tanpa Substansi
Dalam realitas sosial keindonesiaan hari ini, praktik haji sering kali terjebak dalam budaya prestise. Banyak yang berhaji untuk mendapatkan pengakuan sosial, bukan pencerahan spiritual. Inilah yang disebut sebagai haji kemasan—yang hanya menyentuh permukaan, tanpa membuahkan transformasi moral.
Orang yang berhaji namun tetap korup, menindas, dan merusak, sejatinya belum menjadi “haji” dalam makna ruhaniahnya. Mereka hanya menjadi haji dalam bentuk, bukan dalam ruh. Fenomena ini membuat banyak orang skeptis, dan tak jarang melontarkan kritik keras terhadap perilaku sebagian yang bergelar haji namun tetap melakukan tindakan menyimpang setelah kembali ke tanah air.
Haji sebagai Transformasi Sosial
Haji seharusnya menjadi titik balik. Ia bukan hanya ibadah vertikal kepada Tuhan, tetapi juga komitmen horizontal kepada sesama manusia. Haji sejati adalah haji yang melahirkan kesadaran sosial—mengubah cara seseorang memimpin, berdagang, bermasyarakat, dan berpolitik.
Mereka yang benar-benar mabrur adalah mereka yang mampu membawa spirit haji ke dalam seluruh aspek hidupnya: jujur dalam jabatan, adil dalam kekuasaan, dan amanah dalam tanggung jawab sosial. Itulah bentuk dari haji berbudaya—haji yang tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga bermakna dalam realitas.
Kembali pada Makna Hakiki
Budaya haji bukanlah sekadar pakaian ihram, gelar kehormatan, atau cerita perjalanan. Ia adalah proses mendalam untuk menjadi manusia yang lebih sadar, lebih bersih, dan lebih bijaksana. Dalam dunia yang semakin sibuk dengan simbol dan tampilan luar, haji mengajarkan kita untuk kembali ke inti: kejujuran, kesederhanaan, dan ketundukan total kepada Yang Maha Esa.
Haji sejati adalah mereka yang pulang membawa bukan hanya oleh-oleh, tetapi juga oleh-hati—yakni hati yang terdidik, tercerahkan, dan siap berbuat lebih baik untuk sesama.