Popularitas, Algoritma, dan Kekeliruan Logika
News

Popularitas, Algoritma, dan Kekeliruan Logika

Oleh: Swary Utami Dewi (Alumni Sekdem LP3ES)

Jakarta,- Kabarlagi.id Salah satu kekeliruan berpikir paling berbahaya hari ini adalah anggapan bahwa yang populer pasti benar. Itulah ciri dari “argumentum ad populum”, suatu kesalahan logika yang menyamakan banyaknya “pengikut” dengan kebenaran. Jika di media sosial terkenal, maka layak jadi panutan. Jika statistik menunjukkan banyak yang suka atau setuju (atau diatur untuk banyak yang sepakat), maka ia pantas dan layak. Inilah yang gencar terjadi di masa-masa kini. Saat ini terjadi, nalar publik tergelincir. Publik dikontrol untuk percaya. Maka yang paling sering muncul, disebut, atau “disetujui”, menjadi yang paling baik, layak, bahkan suci dan berjasa.

Patut disadari bahwa fenomena ini bukan kebetulan. Sekali lagi, bukan kebetulan. Ia kerap merupakan hasil kerja sistematis dari algoritma media sosial, survei tertentu yang dipesan, dan strategi komunikasi politik. Survei, misalnya, bisa memberi “legitimasi ilmiah” bagi apa yang sesungguhnya hanya gema buatan. Buzzer profesional menyiapkan narasi dan emosi. Mereka mengatur alur dan tempo, menciptakan figur, dan menanamkan kesan. Semuanya saling menopang begitu rupa. Rapi, canggih, teratur, dan tertata.

Apa yang berulang-ulang ditampilkan akhirnya diterima sebagai kebenaran. Ingatan kolektif digeser perlahan. Semua diatur bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan algoritmik dan pengulangan digital tadi. Reputasi pun tidak lagi bergantung pada rekam jejak dan substansi, tetapi pada kemampuan menguasai citra.

Fenomena ini dari jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh seorang penulis terkenal Denmark, Hans Christian Andersen. Ceritanya yang sarat moral, “The Emperor’s New Clothes”, mengisahkan seorang raja yang gila sanjungan dan gemar berbusana mewah dan apik. Hingga suatu saat ketika penata busananya sudah kehabisan ide busana, ia mendandani raja hanya dengan pakaian dalam.

Sang raja yang begitu percaya diri merasa bahwa ia mengenakan pakaian yang indah, yang sebelumnya belum pernah diciptakan untuk siapa pun. Rakyat pun turut berpura-pura mengiyakan dan memuji pakaian itu. Mereka takut, bingung, tak mampu, ataupun kebanyakan tersihir masuk dalam psikologi massa yang diciptakan oleh raja dan penata busana. “Wah, raja gagah dan pantas dengan busananya yang indah dan luar biasa”. Hingga ada anak kecil yang begitu polos dan murni berteriak di tengah-tengah kerumunan. Ia meneriakkan bahwa raja tak mengenakan baju. Tepatnya, hanya mengenakan pakaian dalam.

Penilaian khalayak yang dibentuk tadi merupakan kesesatan berpikir. Karena mayoritas mengatakan “pakaian itu indah” maka semua melakukan koor yang sama. Itulah “argumentum ad populum”. Citra bisa menipu nalar publik, dan orang cenderung mengalah pada “ajakan” sosial, bahkan ketika kebenaran jelas ada di depan mata. Sementara, ketika anak kecil yang murni meneriakkan raja tak berpakaian, itulah kritik atas kekeliruan nalar tadi. Itulah akal organik yang menolak dibentuk oleh popularitas semata.

Perlu diingat, berbagai bentuk pencitraan yang direkayasa kerap terjadi dalam sejarah manusia. Rezim-rezim diktator gemar melakukan hal ini. Bentuknya adalah propaganda melalui media yang ada di masanya. Di masa Hitler, propaganda dijalankan dengan radio, film, poster, dan simbol-simbol kebangsaan. Propaganda tidak hanya menekankan keunggulan bangsa Arya, tetapi juga menutupi kekejaman rezim, memutarbalikkan fakta politik, dan menciptakan ilusi penyelamatan bangsa. Rakyat didorong untuk percaya bahwa setiap kebijakan sang diktator adalah demi keselamatan dan kehormatan Jerman, meski kenyataannya rezim itu menindas dan membunuh jutaan orang.

Sosok lain yang kurang lebih sama adalah Benito Mussolini dari Italia. Ia membangun citra sebagai pemimpin kuat dan penyelamat bangsa melalui media massa, poster, pidato berapi-api, dan parade militer yang megah. Fakta sejarah diseleksi dan disajikan sedemikian rupa untuk mendukung narasi kekuatan dan keteguhan dirinya, sementara oposisi dan kritik ditekan.

Contoh dari kedua diktator itu menunjukkan bahwa rekayasa bisa membuat publik menerima kebohongan sebagai kebenaran, bahkan ketika kenyataan yang terjadi sangat berbeda.

Kini cara yang sama kerap dihidupkan kembali. Bedanya, yang sekarang jauh lebih halus dan efektif. Propaganda tidak lagi menjerit-jerit di depan pengeras suara, melainkan ada di jari yang memainkan ritme prompt dan mengatur algoritma pembentuk narasi. Ia bisa berwujud meme, video pendek, tagar, hasil survei, komentar online terkoordinasi, dan sebagainya.

Hal seperti ini juga terjadi di Indonesia, paling tidak dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian menunjukkan bahwa buzzer politik dan influencer media sosial memang memainkan peran signifikan dalam membentuk opini publik, sekaligus menciptakan kekeliruan nalar. Studi tentang “Pembingkaian Opini Publik oleh Influencer Politik di TikTok” yang dilakukan Khairunnisa dkk (yang 2025) menunjukkan bagaimana narasi yang diulang secara sistematis melalui media sosial memengaruhi persepsi masyarakat muda. Penelitian lain tentang “Peran Buzzer Politik dalam Dinamika Jelang Pemilu Tahun 2024”.oleh Ariandi Putra menegaskan bahwa tim berbayar mampu menggerakkan survei dan komentar online sehingga opini publik tampak mendukung figur tertentu.

Maka di sinilah kesesatan nalar itu terjadi, ketika kepopuleran menentukan kebenaran, sejarah dikendalikan oleh algoritma, dan propaganda terselubung menemukan bentuk baru yang lebih canggih dari sebelumnya. Popularitas bisa menutupi dosa, kepalsuan bisa tampak seperti kebenaran, dan sejarah bisa dibentuk sesuai kehendak.

Pada akhirnya, tantangan terbesar di zaman algoritma ini adalah kemampuan manusia untuk bisa tetap berpikir jernih, tidak tunduk pada arus popularitas, dan berani mempertanyakan apa yang tampak benar. Patut dipahami bahwa kebenaran sejati tak lahir dari jumlah suara yang setuju, dari repetisi media sosial dan sistem pendukungnya. Ia lahir dari keberanian untuk berpikir merdeka di tengah gemuruhnya kebisingan digital yang melayani kepentingan kuasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *